Provinsi Bali, NTB, dan NTT yang berada dalam region Sunda Kecil, diyakini akan memegang peranan penting dan strategis dalam kontestasi Pilpres 2024. Meski jumlah pemilih di tiga provinsi ini kalah signifikan jika dibanding dengan jumlah pemilih di Pulau Jawa, tapi Region Suda Kecil tetap akan menjadi ajang perebutan legitimasi kawasan bagi setiap kandidat yang bertarung dalam Pilpres 2024.
“Pilpres 2024 bukan hanya soal memenangkan suara terbanyak belaka. Tapi juga soal bagaimana pemenang mendapatkan legitimasi kawasan. Karena itu, gugusan Region Sunda Kecil tetap akan menjadi epicentrum pertarungan perebutan dukungan dalam Pilpres 2024,” kata Direktur Lembaga Kajian Sosial dan Politik Mi6 Bambang Mei Finarwanto di Mataram, Ahad (2/10/2022).
Dia mengatakan, legitimasi adalah hak moral setiap pemimpin untuk memerintah, membuat, dan melaksanakan keputusan politik. Karena itu, setiap kandidat yang bertarung dalam Pilpres selain ingin mendulang suara terbanyak, mereka juga pasti ingin mendapatkan legitimasi yang seluas-luasnya dari berbagai kawasan di Indonesia.
Didu, sapaan karib Bambang Mei menjelaskan, jika menghitung jumlah pemilih, Provinsi Bali, NTB, dan NTT, tentu akan kalah signifikan dibanding jumlah pemilih provinsi-provinsi di Pulau Jawa.
Pada Pemilu 2019, KPU menetapkan Daftar Jumlah Pemilih Tetap (DPT) di NTB misalnya hanya 3.573.096 orang. Jumlah pemilih lebih sedikit terdapat di Bali dengan DPT Pemilu 2019 sebanyak 3.208.249 orang. Sementara di NTT, DPT Pemilu 2019 sebanyak 3.289.174 orang. Artinya, jumlah pemilih di tiga provinsi Sunda Kecil ini hanya 10.070.519 orang.
Jumlah tersebut sangat terpaut jauh jika dibanding dengan jumlah pemilih di satu provinsi di Pulau Jawa. Di Jawa Timur misalnya, pada Pemilu 2019, DPT di sana sebanyak 31.011.960 orang. Sementara jika seluruh pemilih dari enam provinsi di Pulau Jawa dijumlah secara total sebagai satu kawasan, maka jumlah pemilih di pulau terpadat di Indonesia ini berdasarkan DPT Pemilu 2019 sebanyak 110.132.210 orang.
“Karena pentingnya legitimasi sosial politik region inilah, Region Sunda Kecil tetap akan memiliki makna strategis dalam Pilpres 2024, meski punya jumlah pemilih di sini sedikit,” kata Didu.
Makna strategis legitimasi sosial politik region ini tidak hanya berlaku pada Pilpres 2024. Namun, juga berlaku pada penyelenggaraan pesta demokrasi tahun-tahun sebelumnya. Itu sebabnya kata Didu, dalam Pilpres 2019 misalnya, kandidat seperti Joko Widodo dan Prabowo Subianto tetap jor-joran mengerahkan tim kampanye nasional mereka untuk merebut simpati pemilih dari NTB, Bali, dan NTT. Publik pun sudah tahu, Jokowi memenangkan suara terbanyak di Bali dan NTT, sementara Prabowo menang sangat signifikan di NTB.
Di sisi lain, NTB, Bali, dan NTT, juga memiliki posisi yang sangat strategis sebagai etalase yang mencerminkan wajah multikulturalisme Indonesia. Tiga provinsi ini kaya dengan keragaman etnis, budaya, dan bahasa yang masih sangat terjaga hingga kini. Pun juga dari sisi agama. Bali menjadi provinsi umat Hindu, NTB dengan umat Muslim, dan NTT dengan umat Nasrani.
Belum lagi kata Didu, jika menimbang ketiga provinsi ini merupakan daerah destinasi wisata utama Indonesia karena memiliki tujuan wisata kelas dunia. Bali adalah daerah wisata nomor wahid di Indonesia. Sementara NTB memiliki Mandalika yang menjadi tuan rumah MotoGP, ajang balap motor paling akbar di dunia. Sedangkan NTT memiliki Labuhan Bajo, dengan destinasi wisata Komodo yang merupakan reptil purba satu-satunya di dunia yang masih hidup.
“Karena itu, menjadi hal yang tak mengherankan jika eksotisme Kawasan Sunda Kecil, Khususnya NTB, akan menjadi *Palagan* perebutan pengaruh dalam Pilpres 2024,” kata Didu haqqulyakin.
*Pentingnya Legitimasi Politik*
Secara umum, para pemimpin pemerintahan dari setiap negara pasti berupaya untuk mendapatkan atau mempertahankan *Legitimasi Politik* bagi kewenangannya. Setidaknya kata Didu, terdapat dua alasan yang menjadikan legitimasi begitu penting. Pertama, legitimasi mendatangkan kestabilan politik. Kedua, legitimasi membuka kesempatan bagi pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Pengakuan dan dukungan masyarakat yang luas akan menciptakan pemerintahan yang stabil. Dengan begitu, pemerintah dapat membuat dan melaksanakan keputusan yang menguntungkan masyarakat,” tandas mantan Eksekutif Daerah Walhi NTB dua petiode ini.
Pada saat yang sama, figur yang dikenal humble ini menambahkan, dengan pengakuan dan dukungan masyarakat yang luas tersebut, akan mengurangi pula terhadap apa yang disebutnya “penggunaan sarana paksaan fisik”, sehingga anggaran yang dimiliki pemerintah dapat difokuskan untuk memenuhi kesejahteraan masyarakat dan pada akhirnya dapat membuat perubahan sosial.
“Dalam situasi yang sulit, pemerintah yang memiliki legitimasi politik yang luas dari rakyat akan lebih mudah mengatasi permasalahan dibanding pemerintah yang kurang mendapatkan legitimasi,” tandas Didu.
Legitimasilah yang akan membuka kesempatan yang semakin luas kepada pemerintah bukan hanya untuk memperluas bidang-bidang kesejahteraan yang hendak diatasi, tapi juga meningkatkan kualitas kesejahteraan tersebut.
Sejarah kata Didu telah membuktikan. Jangankan pemerintahan di era demokrasi seperti saat ini. Pemerintahan yang otoriter sekalipun, tetap memerlukan legitimasi dari masyarakat. Akibatnya, berbagai cara pun dilakukan pemerintah yang berkuasa untuk mendapatkan dan mempertahanakan legitimasi tersebut.
“Sejarah juga membuktikan bahwa Pemilu adalah salah satu jalan untuk meneguhkan legitimasi tersebut,” imbuh Didu.(rls)
Komentar0