JAKARTA, - Baru saja ramai menjadi pembicaraan publik terkait 4 opsi penyelamatan Garuda Indonesia yang mungkin dilakukan pemerintah.
Keempat opsi itu adalah pertama, pinjaman ekuitas dari pemerintah, kedua menggunakan legal bankruptcy untuk merestrukturisasi kewajiban Garuda, seperti utang, sewa, dan kontrak kerja.
Kemudian yang ketiga adalah dibiarkan melakukan restrukturisasi secara mandiri dan yang keempat adalah dilikuidasi (pembubaran).
Terlihat di sini, pemerintah dalam hal ini Kementerian BUMN, masih gamang atas apa yang harus di lakukan dalam rangka penyelamatan Garuda Indonesia, kebanggaan Indonesia. Semua langkah itu adalah yang normatif dan memang biasanya menjadi opsi penyelamatan korporasi pada umumnya.
Pertanyaan mendasar (“why”) dari peristiwa ini adalah, apakah Pemerintah masih mau Garuda Indonesia menjadi National Flag Carrier atau memang membiarkan Indonesia tidak mempunyai kebanggan itu sebagai pelengkap identitas Indonesia?
Melihat keempat opsi tersebut, salah seorang Tokoh Masyarakat Aceh melihat ada potensi alternatif lainnya yang bisa dilakukan pemerintah untuk menyelamatkan Garuda Indonesia.
"Semua opsi tersebut belum menjawab segala permasalahan utama yang dihadapi Garuda Indonesia. Langkah yang diambil cenderung pada akhir likuidasi perusahaan dengan pembubaran Garuda Indonesia," kata Amir Faisal Nek Muhammad dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (27/5/2021).
Disebutkan tokoh asal Aceh ini, Garuda Indonesia yang sejak awal dirintis oleh hasil jerih payah dan pengorbanan rakyat Aceh secara murni dan tanpa pamrih untuk kemerdekaan Indonesia hingga lahirnya Garuda Indonesia seperti sekarang, sungguh sangat tidak selayaknya diabaikan dengan opsi akhir melikuidasinya.
Negara harus benar-benar hadir untuk menyelamatkan Garuda Indonesia, terutama sebagai pemegang saham mayoritas.
Selain itu Garuda Indonesia selama ini telah menjadi simbol kebanggaan Indonesia di mata dunia dengan memiliki maskapai nasional yang mendunia.
"Langkah pembiaran untuk restrukturisasi sendiri tanpa adanya campur tangan Pemerintah ataupun nantinya likuidasi Garuda Indonesia, hanya akan menimbulkan kekecewaan pada pengelolaan maskapai kebanggaan rakyat Indonesia khususnya rakyat Aceh, karena Garuda Indonesia memiliki “National Sentiment” yang sangat tinggi dan menjadi bagian dari sejarah berdirinya Indonesia Raya," tegasnya.
Di sisi lain, tambah Amir Faisal, langkah konkrit yang bisa dilakukan Pemerintah sebagai opsi kelima adalah menjadi penjamin bagi Garuda Indonesia (sebagai pemegang saham mayoritas) terhadap kreditur agar diberikan waktu untuk memulihkan kembali kondisi keuangan perusahaan. Dalam hal ini pemerintah tidak perlu mengeluarkan fresh cash dari APBN, namun cukup memberikan jaminan sehingga para kreditur/lenders nyaman dalam melakukan restrukturisasi hutang2 Garuda Indonesia.
Misalnya, Garuda Indonesia diberikan waktu selama beberapa tahun untuk menjalankan operasional perusahaan tanpa dibebankan terhadap hutang yang harus dibayar kepada kreditur dengan jaminan dari Pemerintah.
Jika selama masa tersebut, Garuda Indonesia masih belum mampu membayar hutangnya, maka negara akan hadir untuk menjadi penanggung jawab atas hutang tersebut.
"Hal ini juga bisa dibebankan pada pemegang saham lainnya juga. Tentunya jika pemegang saham lainnya tidak mengeluarkan dananya sebagai langkah pemulihan, maka nilai sahamnya akan ter-delusi," jelasnya.
Tentu saja dalam waktu restrukturisasi dan transisi itu, Garuda Indonesia harus melakukan tata kelola manajemen secara benar dan serius. Langkah efisiensi belanja perusahaan dan komersialisasi line businesses nya harus dilakukan dengan baik, terlebih dalam masa pandemi ini kita belum tahu sampai mana ujungnya.
"Jangan sampai besar pasak dari pada tiang. Manajemen harus diberikan kepada professional yang mampu dan mengerti menjalankan perusahaan maskapai penerbangan secara berkelanjutan dan tentunya tidak merugi," sebutnya.
Langkah downsizing organisasi juga menjadi penting untuk mengelola operasional penerbangan yang lebih efektif dan efisien.
Misalnya, Garuda Indonesia hanya melakukan penerbangan rute antar kota besar dan luar negeri dengan lalu lintas/traffic yang tinggi saja.
Sementara untuk penerbangan perintis diserahkan pada maskapai lain atau anak usaha Citilink menjadi Low Cost Carrier.
"Sehingga beban operasional perusahaan menjadi lebih efisien dan menjadi National Flight Carrier di luar negeri," tandasnya.
Niscaya dengan niat yang baik untuk mempertahankan kebanggaan Indonesia, kepercayaan rakyat Aceh yang tulus dan ikhlas untuk sebuah negara Indonesia di awal kebangkitan dan kemerdekaan Indonesia, tetap kekal dan terus menjadi semangat kita semua. Semoga Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa tetap memberikan anugerah nya buat kita semua," pungkasnya.
Komentar0