Jakarta, - Melihat kondisi pandemi, ada proyeksi resesi ekonomi pada kuartal ketiga tahun ini, tentunya menjadi hal yang harus dipersiapkan sejak sekarang. Meningkatnya konsumsi masyarakat dan perdagangan domestik diharapkan bisa mendongkrak pendapatan negara.
Sementara itu, stimulus ekonomi nasional dalam Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang di antaranya untuk penyelamatan UMKM, masih belum terserap efektif karena baru dipakai sekitar 25,1 persen dari total dana yang disiapkan PEN.
*Bantuan kepada UMKM*
“Kami bantu lewat dua hal. Pertama, belanja pemerintah. Sekarang diprioritaskan untuk membeli produk UMKM. Tahun ini ada Rp 321 triliun belanja pemerintah yang sudah diperintahkan oleh Pak Presiden untuk dibelanjakan pada produk UMKM. Sekarang dalam tahap kami dengan LKPP melakukan pelatihan dan pendampingan terhadap daerah dan UMKM supaya bisa _onboarding_ di katalog LKPP,” ujar Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki.
Kini Kementerian Koperasi dan UMKM memang menjadi salah satu tumpuan seluruh pihak dalam upaya penyelamatan ekonomi kecil masyarakat yang mendominasi ekonomi nasional. beberapa program dirilis kementerian tersebut, salah satunya “Gerakan Bangga Buatan Indonesia” yang mendorong konsumsi masyarakat agar membeli produk UMKM. “Kami juga ada komitmen dengan Pak Erick Thohir Menteri BUMN yaitu belanja BUMN lewat pasar digital dengan belanja Rp 14 miliar ke bawah diberikan kepada UMKM,” tambah Teten.
“Ada program pemberdayaan kami untuk UMKM yang utama di PNM, yaitu unit layanan modal mikro sejak 2008 dan program membina ekonomi keluarga sejahtera (PNM Mekar) yang dimulai 2016. PNM Mekar per hari ini ada 6.542.000 nasabah aktif, 100 persen nasabahnya perempuan yang kami ambil pada segmen masyarakat pra-sejahtera. Sampai akhir tahun paling tidak (targetnya) ada 7 juta,” kata Arief Mulyadi Dirut PNM Mulyadi.
*Penjaminan yang Aman*
“Sekarang kita lihat sebetulnya neraca bank dan non-bank itu lebih bagus yang non-bank. Karena biasanya (peminjam) yang kecil lebih rajin mengembalikan pinjamannya. Dari dulu non-bank tidak menerima subsidi, ini agak _conflicting_,” jelas Dr. Nining I. Soesilo, M.A., _founder_ dan pembina UKM Center FEB-UI.
Mengenai krisis yang menerpa para pelaku ekonomi kecil, pengalaman di India bisa dijadikan rujukan. India pernah mengalami dua kali krisis _microfinance_. Pada 2010, lembaga keuangan mikro saling bersaing antardaerah berebut nasabah. Orang bisa meminjam dari tiga lembaga keuangan, sehingga orang terbelit hutang.
Sedangkan pada 2020, krisis Assam di India menunjukkan bahwa nasabah lembaha keuangan punya hutang di tingkat 11 persen, lebih besar daripada rerata nasional yang di angka 3 persen. Kondisi ini menimbulkan banyaknya angka bunuh diri, menghilang, dan stres yang tinggi masyarakat. “(Kasus di India) adalah krisis yang selalu disebut-sebut dalam studi keuangan mikro. Saya harap Indonesia jangan sampai mengalami ini,” ujarnya.
Segmen mikro memiliki kompleksitas yang tinggi karena sifatnya yang rentan, namun posisinya sangat vital bagi perekonomian nasional sebagai pilar aktivitas ekonomi mayoritas warga. “Yang paling berisiko itu yang kebagian (meminjam) di pegadaian dan lainnya. Lembaga perkreditan desa, ditawari Bank Indonesia untuk menjadi bank perkreditan rakyat (BPR), tidak mau karena akan disupervisi secara ketat oleh OJK,” jelas Nining.
Kompleksitas dalam segmen ekonomi kecil, selain pada beragam dan tingginya jumlah pelaku ekonomi, ada pada proses pendampingan. Lembaga keuangan mikro harus mengeluarkan biaya untuk turun lapangan dan melakukan pendampingan usaha. Maka, menurut Nining, wajar ketika lembaga keuangan mikro menerapkan bunga yang tinggi kepada nasabahnya karena ada biaya operasional yang berbeda dengan bank konvensional.
“Perlu ada perhatian juga pada koperasi. UU Koperasi sangat banyak lubangnya bagi orang-orang yang tidak bertanggungjawab dan menipu masyarakat. Banyak juga koperasi yang risikonya tinggi. Undang-undangnya mengatakan koperasi tidak berhak untuk disupervisi. Akhirnya banyak orang menyalahgunakan koperasi. Nama koperasi rusak,” ungkapnya.
“UU Koperasi itu, menurut saya kalau koperasi simpan-pinjam harus disupervisi bersama dengan OJK. Koperasi simpan-pinjam mengumpukan dana atas nama koperasi. (Banyak yang) sebenarnya itu kedok saja karena tahu bahwa tidak disupervisi OJK,” ujar Nining.
“Memang perlu kita perkuat dalam aspek _big-data_. Karena lembaga penjamin simpanannya, perlu kita pikirkan sebenarnya berapa (nasabah) yang ada di LPDB, di UMI, di koperasi simpan-pinjam, atau siapa yang menyimpan dan siapa yang meminjam. Ini yang perlu kita integrasikan. Untuk situasi sekarang ini ada beberapa koperasi yang mengalami goncangan _cash-in cash-out_-nya. Kita juga tidak mempunyai data persisnya,” ungkap Aria Bima, anggota DPR RI Komisi VI. “Saat ini, fakta yang ada, 57 persen PDB itu bertumpu pada _microfinance_,” tambahnya.(red)
Komentar0