MATARAM, - Pihak Ombudsman RI Perwakilan NTB tengah menangani kasus lahan mata air Ambung, Lombok Timur.
Dugaan maladministrasi dalam sengeketa lahan ini sebelumnya dilaporkan pihak pemilik lahan, Musmuliadi dan Asmadi ke Ombudsman beberapa bulan lalu.
"Betul. Laporan sudah kami terima dan sedang kita tindaklanjuti," kata Kepala Ombudsman NTB, Adhar Hakim SH MH, saat dikonfirmasi Jumat (27/9) di Mataram, didampingi Assisten Ombudsman NTB Bidang Pemeriksaan Laporan, Khairul Natanagara SH MH.
Adhar mengatakan, semua laporan masyarakat yang berkaitan dengan pekayanan publik pasti akan ditindaklanjuti.
Sementara itu, Assisten Ombudsman NTB Bidang Pemeriksaan Laporan, Khairul Natanagara memaparkan, sejauh ini Ombudsman sudah meminta keterangan dari para pelapor, dan pihak terlapor.
"Kami sudah meminta keterangan pelapor. Pihak terlapor juga sudah kita tindaklanjuti," katanya.
Selain itu Ombudsman juga sudah mengumpulkan keterangan dari sejumlah pihak terkait lainnya.
Khairul menjelaskan, saat ini hasil pemeriksaan dan keterangan para pihak tersebut tengah diproses.
"Ombudsman saat ini sedang menyusun Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) untuk masalah ini," katanya.
Kasus lahan mata air Ambung di Lombok Timur ini dilaporkan warga Lombok Timur, Musmuliadi dan Asmadi ke Ombudsman, lantaran Pemda Lombok Timur dinilai ingkar janji untuk membayar ganti rugi.
"Kami cuma minta keadilan. Kami minta Bupati (Lombok Timur) untuk memenuhi janjinya," kata Asmadi (55), warga pemilik lahan sumber air Ambung.
Asmadi bersama Musmuliadi alias Adi (36) merupakan pemilik lahan sumber air Ambung di Desa Rempung.
Seperti diketahui, kasus ini bermula sekitar tahun 1991 silam. Saat itu di atas lahan seluas 37 Are, di Dusun Rempung Barat Utara, milik orangtua Adi, bernama Mul'an, Pemda Lombok Timur membangun bak penampungan air PDAM.
Pembangunan tersebut diduga tanpa izin pemilik lahan.
Menurut Asmadi, selama ini bak penampungan PDAM itu memproduksi dan menyalurkan kebutuhan air bersih untuk wilayah Kecamatan Sukamulia, Selong, dan Labuhan Haji, selain untuk wilayah Pringgasela sendiri.
Namun pemanfaatan lahan dan air itu tidak ada kompensasi kepada pemilik lahan.
Pada Juli 2018, pemilik lahan kemudian menutup saluran air PDAM tersebut.
"Kami lakukan penutupan, karena ini kan lahan milik kami tapi digunakan PDAM tanpa izin dan tidak ada kompensasi untuk kami sebagai pemilik lahan. Kami ajukan upaya permohonan ganti rugi," katanya.
Pada Oktober 2018, papar dia, Bupati Lombok Timur HM Sukiman Azmy meninjau lokasi di sumber air Ambung.
"Secara lisan, Bupati mengakui bahwa itu lahan milik kami. Dan akhirnya kami diundang ke pendopo untuk tandatangani kesepakatan," katanya.
Kesepakatan bersama ditandatangani Bupati Lombok Timur, HM Sukiman Azmy bersama Musmuliadi dan Asmadi pada Selasa 9 Oktober 2018.
Isi kesepakatan antara lain sebagai para pihak telah bersepakat menyelesaikan permasalahan tanah di kawasan mata air Ambung yang berlokasi di Desa Rempung Kecamatan Pringgasela yang digunakan oleh PDAM sebagai tempat bak penampungan air bersih.
Para pihak sepakat menyelesaikan secara damai obyek kesepakatan dengan melalkukan pembebasan tanah dan sepakat menggunakan appraisal dalam menaksir/menilai harga tanah yang luasnya akan ditentukan kemudian oleh pihak kedua dengan syarat tanah yang
digunakan sebagai tempat bak penampungan air bersih oleh PDAM dan
masyarakat harus menjadi bagian dari obyek pembebasan tanah.
Pihak Kedua sepakat membuka akses air untuk digunakan oleh PDAM terhitung sejak ditandatanganinya kesepakatan
menghalangi PDAM untuk memperbaiki saluran air yang rusak dan tidak akan mempermasalahkan secara hukum dikemudian hari.
Pihak pertama berjanji akan menyelesaikan obyek kesepakatan dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Kesepakatan bersama itu disaksikan oleh Asisten Ekonomi dan Pembangunan Pemda Lombok Timur, H Sahabuddin, Dirut PDAM Lombok Timur Ir Moh Israt, Kabag Hukum Pempa Lombok Timur Lalu Kusmana, Camat Pringgasela, Iskandar, dan Kepala Desa Rempung, UMar Ubaid.
Menurut Asmadi, usai kesepakatan tersebut, Pemda sudah membentuk tim penyelesaian masalah.
Pemda juga sudah melakukan appraisal untuk ganti rugi. Namun sampai sekarang ganti rugi yang dijanjikan belum direalisasikan.
"Karena ada kesepakatan, waktu itu saluran air kami buka kembali. Tapi sampai sekarang belum ada ganti rugi," katanya.
Akhirnya pada April 2019, pihak pemilik lahan kembali menutup saluran air, sambil menunggu kepastian dari Pemda Lombok Timur, terkait ganti rugi.
Asmadi mengatakan, pada April 2019, pihaknya kembali menanyakan masalah pembayaran ganti rugi kepada Pemda Lombok Timur.
"Kita juga diundang rapat, tapi hasil rapat Bupati menyatakan pembayaran ganti rugi tidak dilakukan karena dilarang oleh BPKP. Namun saat kami tanya ke BPKP dan juga BPK, itu tidak dilarang, nggak ada larangan," katanya.
Merasa tuntutannya tidak digubris, Musmuliadi dan Asmadi kemudian mengajukan laporan ke Ombudsman NTB.
"Dari Ombudsman sudah ada pernyataan bahwa terbukti kalau Pemda (Lombok Timur) tidak dapat membuktikan alas hak untuk lahan itu. Dia tergolong mal-administrasi," katanya.
Asmadi menegaskan, pihaknya meminta ganti kerugian untuk tanah yang digunakan dan air yang selama ini disalurkan PDAM Lombok Timur, senilai Rp10 Miliar.
Jumlah ini lebih kecil dari hasil appraisal tim penyelesaian yang mencapai Rp45 Miliar.
"Kami cuma minta Rp10 Miliar, karena kami sadar bahwa air itu untuk kebutuhan masyarakat banyak, ada muatan sosial di dalamnya. Tapi hal itu tidak menghapuskan hak-hak keperdataan kami selaku pemilik tanah. Kami ingin keadilan," katanya.(red)
Komentar0