Jakarta, - Anak muda yang lebih akrab disebut milenial menyadari bahwa banyak informasi fitnah terhadap Jokowi. Justru karena itu mereka memilih tidak akan golput dalam Pilpres 17 April yang akan datang.
Hal tersebut terungkap dalam diskusi dan konferensi pers “Kata Milenial tentang Hoax dan Golput” yang digelar Gerakan Tangkal Fitnah Kamis (28/3/19) di Media Center TKN, Menteng, Jakarta Pusat.
Diskusi rutin menghadirkan narasumber sejumlah milenal seperti aktivis AMPI Avicenna, alumnus UGM Yashinta Sekarwangi, Ketua Pemuda Tani Rina Saadah, dan peneliti GTF Syafril Nazirudin. Acara dipandu oleh anak muda lulusan SMA Taruna Nusantara Esti Marina.
GTF secara rutin mengamati dan menganalisis pola persebaran hoax yang ditujukan kepada Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Joko Widodo dan KH. Ma’ruf Amin.
“Walaupun kami seringkali cuek terhadap urusan politik, kami sebenarnya sudah tahu dan menyadari bahwa sebenarnya banyak sekali informasi yang merupakan fitnahan terhadap Pak Jokowi. Jadi pokoknya kami sudah mengerti kok” ujar Yashinta Sekarwangi, yang akrab disapa Anggi. Perempuan lulusan Jurusan Hubungan Internasional UGM ini mengatakan, seringkali generasi millenial sampai malas mengikuti berita politik karena isinya kebanyakan adalah berita hoax.
“Ya kami tahulah. Toh kami juga bisa memikirkan dan merasakan mana yang benar dan mana yang salah dan saya mengajak untuk temen-temen milenial memilih calon yang tidak turut serta menyebarluaskan hoax,” kata Anggi.
Sementara Rina Saadah mengakui Jokowi merupakan figur yang selama ini menjadi sasaran fitnah terbanyak.
Berdasarkan laporan Kementerian Komunikasi dan Informatika pekan lalu, sejak bulan Februari telah terjadi peningkatan jumlah hoax secara masif. Sebanyak 498 hoax telah terjaring yang berarti hampir tiap hari setidaknya terdapat 17 jenis hoax yang beredar. Padahal sebelumnya Kominfo mengidentifikasi 771 hoax sejak bulan Agustus 2018 hingga Februari 2019, yang artinya terdapat sekitar 3 hingga 4 jenis setiap harinya.
Peneliti Gerakan Tangkal Fitnah Syafril Nazirudin mengatakan jenis hoax yang beredar memiliki pola mengulang-ulang seperti isu PKI atau komunisme.
“Kami dipaksa mempercayai narasi hoax komunisme, yang ada sebelum kami lahir. Lha kami kan juga belajar sejarah, bahkan termasuk peristiwa 98” ujar peneliti yang sedang menempuh pendidikan pasca sarjana dibidang politik itu. Syafril berpandangan hoax yang banyak beredar itu sengaja diciptakan selain untuk mendelegitimasi pemerintahan Jokowi, juga dimaksudkan untuk mendorong kaum millenial untuk tidak hadir dalam pemilu nanti.
“Kami tidak akan golput walaupun hoax itu membuat kebingungan dan saya berpesan kepada millenial jadilah pemilih cerdas dan berintegritas jangan termakan hoax,” ujar Avicenna, aktivis AMPI, sayap organisasi kepemudaan Partai Golkar. Senada dengan milenial yang lain, Avicenna berpandangan semburan hoax yang semakin banyak saat ini berusaha menutupi mata masyarakat terhadap kinerja pemerintahan Jokowi.
GTF mengidentifikasi kaum milenal yang berjumlah sekitar 30 persen dari populasi merupakan target empuk adanya hoax, yang berusaha mendorong mereka untuk melakukan golput. Semburan fitnah diulang-ulang dengan menggunakan isu atau topik PKI/Komunis, kriminalisasi ulama, TKA Asing-Cina, Utang Luar Negeri, pengangguran, dan Harga Barang Mahal serta tentang buruknya penyelenggaraan pemilu.(red)
Komentar0